JELANG HUT RI, Awasi Gerakan Kelompok RADIKAL !!!
tribratanewskupang.com, ---Pekan lalu Wakapolri Komjen Gatot Eddy Pramono mengatakan, memasuki tahun ajaran baru, dunia pendidikan, khususnya tingkat Perguruan Tinggi harus terus meningkatkan kewaspadaan terhadap paham dan gerakan kekerasan, terutama yang ditujukan untuk menggulingkan pemerintahan yang sah dengan legitimasi yang didasarkan pada pemahaman agama yang salah. Paham dan gerakan tersebut adalah intoleransi, radikalisme, ekstremisme, dan terorisme.
Kata-kata orang nomor dua di lembaga Polri ini bukan tidak mendasar melainkan atas data valid yang diterima Polri sejak tahun 2021 hingga 2022.
Salah satunya Global Terrorism Index 2022 mendata 5.226 aksi terorisme terjadi diseluruh belahan dunia sepanjang tahun 2021, hingga korban mencapai 7.142 jiwa. Ironisnya korban tertinggi adalah kelompok anak-anak, perempuan, dan golongan usia renta.
Dari tanah air diberitakan awal Agutus 2022 lalu Densus 88 menangkap 15 terduga teroris yang terdiri dari 13 dari Jamaah Islamiyah dan 2 Jamaah Ansarut Daulah di Aceh.
Fenomena-fenomena ini bukan merupakan fenomena biasa, melainkan sebuah gerakan masif kalau kelompok radikal di Indonesia masih sangat aktif.
Pernyataan Wakapolri Komjen Eddy Pranomo pada awal tulisan diatas tadi meski hanya terfokus pada dunia pendidikan tapi memiliki relevansi yang luas yaitu terhadap seluruh masyarakat Indonesia yang tidak tersentuh paham kebangsaaan seperti kelompok akademika, sekolah-sekolah lanjutan bahkan anak-anak TD dan sekolah dasar.
Kelompok radikal telah jauh mempelajari cara ini. Berdalil agama mereka menyasar kelompok ini menyebarkan paham dan gerakan radikalisme dan intoleransi
Ia pun menjelaskan bahwa dalam lima tahun terakhir kelompok radikal menyasar dunia pendidiakn khususnya kampus dan tak terkecuali anak-anak disekolah dasar dan lanjutan. Proses infiltrasi ini dilakukan melalui kegiatan-kegiatan keagamaan (CISForm, 2018), masjid-masjid kampus (INFID, 2018), dan persebaran buku-buku (PPIM, 2018).
Pola penyebarannya pun tidak lagi dilakukan hanya melalui medium dakwah dan forum-forum halaqah, tetapi sudah merambah ke media sosial (cyber space) dan jalur-jalur pertemanan.
Terbukti aksi ini telah meningkatkan grafik mahasiswa yang terindikasi sikap intoleran mencapai 24,89 % (data PPIM tahun 2020) dan 23,4 % data yang terinput Alvara Research (2020) mahasiswa dan pelajar Indonesia mengaku anti-Pancasila dan malah pro-khilafah.
Upaya-upaya inilah yang lambat laun menggumpal menjadi terorisme dan radikalisme dengan menyetujui dan mendukung penggunaan aksi-aksi kekerasan untuk mencapai suatu tujuan.
Mantan Kapolri Jenderal Polisi (Purn.) Prof. Drs. H. Muhammad Tito Karnavian, M.A., Ph.D pernah mengurai ciri-ciri seseorang dapat dicurigai terjangkit radikalisme apabila menunjukkan bentuk-bentuk aksi seperti mengapresiasi aksi terorisme, tidak mengecam aksi terorisme, menunjukkan dukungan melalui unggahan di media sosial, mencurigai aksi teror sebagai rekayasa, dan sebagainya.
Sikap dan pemahaman ini apabila tidak segera diintervensi, sangat mungkin seseorang yang sudah radikal menjadi teroris. Yang bersangkutan bukan lagi mendukung dan menyetujui aksi-aksi kekerasan, tetapi sudah terlibat langsung dengan menjadi pelaku atau eksekutor aksi-aksi kekerasan tersebut.
Dalam tulisan ini, penulis mengurai lima penyebab anak-anak muda tertarik pada narasi atau bahkan gerakan intoleran dan radikal. Pertama, mereka sedang mencari jati diri. Studi yang dilakukan oleh The United States Institute of Peace pada 2010 menunjukkan bahwa 2.032 militan asing jaringan Alqaeda berasal dari kalangan mahasiswa dan pelajar; mereka adalah orang-orang yang sedang mengembara untuk menemukan jati dirinya.
Kedua, mereka membutuhkan perasaan kebersamaan. Kelompok teroris pandai memanfaatkan para remaja yang sedang resah terhadap kondisi emosionalnya. Mereka ingin mencari kebersamaan yang kadang tidak mereka dapatkan dari keluarganya.
Ketiga, mereka ingin memperbaiki apa yang dianggap mencederai rasa keadilan. Para remaja ini memiliki semangat yang menggebu-gebu dan idealisme yang tinggi untuk melakukan perubahan, hal inilah yang juga dimanfaatkan oleh kelompok teroris.
Keempat, mereka sedang membangun citra diri. Kelompok remaja sangat ingin terlihat menonjol atau eksis, karenanya mereka cenderung tidak segan untuk melakukan berbagai cara untuk tampil impresif, termasuk di antaranya adalah dengan menjadi bagian dari kelompok dan gerakan ekstremis.
Kelima, mereka memiliki akses yang luas untuk berinteraksi dengan siapa pun di dunia maya, termasuk dengan kelompok radikal. Persinggungan di dunia maya inilah yang kerap menjadi permulaan bagi kalangan muda untuk bergabung dengan kelompok teroris.
Point kelima oleh banyak kalangan telah membuat kalangan anak-anak muda semakin rentan, terutama –sebagaimana dikemukakan dalam temuan Wahid Foundation (2017)—karena kalangan muda lebih senang belajar agama dari media sosial, dengan ustaz/ah yang belum tentu terjamin kualitas keilmuan dan akhlaknya.
Jelang HUT RI ke-77, Mari Bersama Lawan Terorisme !
HUT RI ke-77 yang nyaris bersamaan dengan pembukaan tahun ajaran baru 2022/2023 menjadi sebuah momen untuk bersama-sama kita melawan kelompok tak bertanggung jawab ini. Semangat perjuangan para pahlawan yang telah gugur demi kemerdakaan bangsa Indonesia patut dijadikan sendi persatuan melawan kelompok-kelompok pemecah belah persatuan dan kesatuan bangsa.
Prioritaskan penanggulangan bahaya radikalisme dan terorisme di kalangan perguruan tinggi bahkan pendidikan dasar dan menengah karena apabila dibiarkan berpotensi besar menghancurkan bukan saja negara, tetapi kemanusiaan dan peradaban kita.
Untuk itu, Polri serius membangun kerja sama dengan universitas-universitas di Indonesia untuk melawan segala bentuk ajaran dan gerakan kekerasan. Hal ini dilakukan dengan meningkatkan kesiapsiagaan nasional, masifikasi program kontra-ideologi, deradikalisasi, netralisasi media, serta netralisasi situasi.
Jadikan kampus menjadi kampus inklusi inklusi anti-intoleransi dengan membuka lebih banyak ruang perjumpaan di dalam kampus serta mengawasi organisasi mahasiswa yang bersifat eksklusif. Kampus juga harus tegas soal regulasi anti-radikalisme di internal masing-masing. Hal ini diwujudkan salah satunya dengan kesepakatan bersama untuk selalu patuh dan menjunjung tinggi empat komitmen dasar negara, yakni Pancasila, UUD 1945, Bhinneka Tunggal Ika, dan NKRI. Kampus juga harus selalu memastikan materi pembelajaran mengandung pandangan keagamaan moderat dan bernuansa wawasan kebangsaan karena hanya dengan komitmen dan kebersamaan, kita dapat bersama-sama mengalahkan paham dan gerakan kekerasan.
Penulis : Simeon, Yapi, Elthon, Arnold / Humas Polres Kupang.