HUT Polwan dimasa degradasi Polri, Akankah Mampu Merebut Kembali Kepercayaan Publik

HUT Polwan dimasa degradasi Polri,  Akankah Mampu Merebut Kembali Kepercayaan Publik

Tanggal 1 September yang lalu Polisi Wanita Indonesia memasuki usia ke-74. Korps yang familiar disebut Polwan ini lahir tanggal 1 September 1948 dan saat ini tidak bisa disebut muda lagi bila dianalogikan dengan sebuah kehidupan.

Seiring perjalanan sang waktu, Polwan di Indonesia terus bermetamorfosis menjadi sebuah kekuatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata dalam memberikan perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat disamping memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat serta menegakkan hukum di Indonesia. Peran mereka pun sejajar dengan tugas seorang polisi lak-laki (Polki).

Tahun ini Polwan kita merayakan hari ulang tahunnya ditengah degradasi Polri merebut kepercayaan publik yang terseret kasus mantan Kadivpropam Polri Irjen FS.

Realita tersebut merupakan tantangan serius Korps Polwan dihari jadinya ke-74 tahun ini. Ibarat membangun kembali pondasi sebuah bangunan yang hancur, Polwan wajib memolesnya menjadi lebih indah sehingga lebih dipercaya publik.

Tugas ini tentu bukanlah sebuah pekerjaan yang mudah, perlu perjuangan yang sedikit serius untuk memulainya.

Dalam ceramahnya Kapolri Jenderal Polisi Drs. Listyo Sigit Prabowo, M.Si pada acara puncak dan syukuran HUT ke-74 Polwan Republik Indonesia di Gedung Rupatama Mabes Polri, Jakarta Selatan Jumat (9/9/2022) ia meminta Polwan untuk bisa menunjukkan dan mampu mendorong kepercayaan masyarakat kepada Polri.

Berdasarkan hasil survei tingkat kepercayaan publik beberapa minggu terakhir pasca konflik internal Polri yaitu sudah 69,6 persen.

Angka dinilai sudah cukup bukan berarti Polri boleh berjemawah tetapi sebaliknya wajib harus diperjuangkan karena ini menyangkut marwah institusi dan menyangkut kepercayaan publik.

Bagaikan seorang Srikandi dalam dunia pewayangan ,Polwan harus mampu menjadi salah satu kekuatan untuk meraih kembali tingkat kepercayaan publik.

Ada apa dengan Polwan kita ?

Meski seorang Polwan memiliki kemampuan yang sama dengan seorang Polki tetapi kehadiran Polwan ditengah masyarakat memiliki energi tersendiri yang tidak dimiliki oleh seorang laki-laki. Ia tetap lebih lembut , ramah dan penuh kasih sayang. Oleh Kapolri ciri khas inilah yang menjadi salah satu kekuatan Polwan ketika menjalankan tugasnya di lapangan.

Terkait adanya konflik internal Polri akhir-akhir ini perlu dirancang sebuah piranti baru guna membawa Polri menjadi lebih Presisi, lebih dipercaya Publik kedepannya, misalnya reformasi kultural.

Dan hal itu sudah dilakukan Kapolri yang dibedah dalam dua metode yaitu Rule Based Definition dan Value based Definition. Terkait, Rule Based Definition menurut Kapolri telah berjalan dengan menyerap dan mendengar aspirasi masyarakat, misalnya perubahan Perkap menjadi Perpol beberapa waktu lalu.

Sedangkan cara Value Based,membutuhkan komitmen dan kerja keras bagi seluruh personel kepolisian dengan terus menanamkan nilai-nilai Tri Brata dan Catur Prasetya serta saling mengingatkan satu lainnya untuk selalu berbuat kebaikan.

Selain dua metode diatas, Polwan juga perlu memperhatikan dinamika global maupun nasional seperti krisis pangan dan energi di seluruh dunia termasuk Indonesia semenjak perang Rusia Ukaraina, kejahatan model Transnational Crime hingga Hyper Connectivity.

Namun semua peran yang bisa diperagakan Polwan diatas tadi adalah sia-sia belaka apabila tidak dibarengi enerjiknya seorang pemimpin.

Beberapa bulan yang lalu viral diberbagai platform media pernyataan Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo, M.Si yang dikenal dengan filosofi ikan, apabila kepalanya busuk maka kepalanya yang dipotong.

Pernyataan ini mengandung makna bahwa yang menjadi motivator dalam sebuah keberhasilan adalah peran seorang pimpinan.

Polwan harus digerakan oleh seorang pemimpin yang benar-benar bisa membawa perubahan demi merebut kembali marwah Polri yang kian memudar.

Kita mengenal dua stereotipe kepemimpinan dalam tubuh militer (Polri) yaitu hard power of command (kekuatan keras komando) dan soft power of persuasion (kekuatan lunak persuasi).

Dari dua stereotipe kepemimpinan ini akan melahirkan pemimpin dengan masing-masing gaya berbeda.

Tumbuh dan lahir dalam lingkungan Polri seorang Polisi baru, pasti akan meniru perilaku sosial lingkungannya yang belum melepas secara total ciri-ciri militernya.

Namun paradigma Polri akan berudah bila Polwan benar-benar punya tekad untuk berubah.

Ada beberapa studi yang pernah dilakukan menunjukkan semakin berhasilnya apa yang dahulu dianggap sebagai kepemimpinan “gaya feminin”. Sebagai misal di Amerika Serikat, Pentagon mengatakan para instruktur angkatan bersenjata sekarang “kurang melakukan bentakan- bentakan”, karena generasi sekarang ini merespons dengan lebih baik instruktur yang memainkan “peran yang sifatnya lebih menasihati”.

Mantan Presiden AS George W. Bush melukiskan, peran yang dimainkannya adalah sebagai “pengambil keputusan”, tapi untuk kepemimpinan saat ini diperlukan lebih dari sekadar itu. Para pemimpin saat ini harus mampu memanfaatkan jejaring, berkolaborasi, dan mendorong keikutsertaan. Gaya non-hierarkis dan keterampilan relasional yang dimiliki wanita cocok dengan kepemimpinan dalam dunia baru organisasi dan kelompok berbasis informasi saat ini yang rata-rata, kurang siap dihadapi laki-laki. Disinilah peran wanita dalam kepemimpinannya patut dikaji.

Apakah peran seorang Polisi wanita dalam dunia kepolisian ?

Penyeimbangan peran, pada masa lalu, ketika wanita berjuang dengan susah payah untuk mencapai puncak suatu organisasi, mereka sering harus mengadopsi “gaya maskulin” yang melanggar norma sosial “kelembutan” wanita. Tapi sekarang, dengan ledakan revolusi informasi dan demokratisasi yang menuntut kepemimpinan yang lebih partisipatif, “gaya feminin” merupakan jalan menuju kepemimpinan yang efektif.

Untuk menjadi pemimpin yang berhasil, laki-laki tidak hanya harus menghargai gaya yang ada pada kolega-kolega wanitanya, tapi juga harus menguasai keterampilan yang sama.

Seperti yang kita ketahui bahwa wanita masih tertinggal dalam merebut posisi kepemimpinan dalam tubuh Polri.

Untuk mencapai itu, maka pemimpin harus dipandang tidak hanya dalam arti komando yang heroik, melainkan sebagai pendorong partisipasi dalam suatu organisasi, kelompok, negara, atau jejaring. Persoalan mengenai gaya yang pantas-kapan mesti menggunakan keterampilan keras dan kapan keterampilan lunak-sama relevannya bagi laki-laki maupun wanita, dan tidak boleh dikaburkan oleh stereotipe gender tradisional. Dalam beberapa hal, laki-laki perlu bertindak lebih “seperti wanita”. Dan dalam hal-hal lainnya, wanita perlu bertindak lebih “seperti laki-laki”. Setidaknya hal tersebut bisa kita jadikan dasar, bagaimana kita bisa menghargai peran wanita. Termasuk kajian polwan dalam hal ini.

Berkaca pada peran dan posisi wanita Indonesia maka refleksi yang bisa kita petik di hari jadi polisi wanita kali ini, semoga para polwan yang ada lebih diberikan ruang berekspresi secara bebas namun tidak melupakan kodratnya sebagai wanita, sebab Polwan merupakan sosok pemimpin wanita yang patut kita hargai dan hormati atas profesionalitas tugas yang telah diembannya. Sebab, bagaimanapun juga profesionalitas merupakan tantangan masa kini bagi Korps Polisi Wanita untuk semakin bersemangat dalam membuktikan eksistensi diri sebagai anggota Polisi Republik Indonesia.

 

SELAMAT ULTAH KE-74 POLWAN REPUBLIK INDONESIA !!!

Editor : Simeon Sion / Humas Polres Kupang.

Sumber : tribratanews.com, Ani Sri Rahayu, Pengajar Civic Hukum Universitas Muhammadiyah Malang