Perlukah Solidaritas Buta Menyikapi Penangkapan Gubernur Papua, Lukas Enembe ?

Perlukah Solidaritas Buta Menyikapi Penangkapan Gubernur Papua, Lukas Enembe ?
Massa pendukung Lukas Enembe menyerang Mako Brimob Polda Papua menolak penangkapan yang dilakukan KPK

Penangkapan Gubernur Papua Lukas Enembe pada hari Selasa tanggal 10 Januari 2023 lalu cukup menegangkan, pasalnya orang nomor satu di Provinsi Papua ini  pasca penangkapannya sekelompok massa langsung beraksi dengan melakukan perlawanan dengan menyerang Mako Brimob Kotaraja Jayapura, saat Lukas Enembe hendak digelandang ke Bandara Sentani untuk dikirim ke Jakarta.

Massa memprotes penangkapan yang dilakukan KPK dan memaksa Polisi untuk melepaskan kembali Lukas Enembe.  Beruntung upaya ini tidak  membuahkan hasil apa-apa, karena aparat melakukan tindakan-tindakan tegas demi membubarkan massa. 

Penangkapan yang dilakukan KPK adalah sebuah upaya hukum yang dilakukan setelah Lukas Enembe diduga terlibat kasus  gratifikasi setelah menerima suap dari Direktur Utama PT. Tabi Bangun Papua, Rijatno Lakka untuk memenangkan  tiga proyek multiyears senilai milyaran rupiah.

Selain Lukas, KPK juga dalam penyelidikannya menemukan adanya gratifikasi yang dilakukan Rijatno Laka terhadap sejumlah pejabat pemerintah Provinsi Papua demi memuluskan perusahaannya terpilih sebagai pemenang tender.

Sepenggal peristiwa diatas menghangatkan dada anak-anak pribumi diawal tahun 2023. Selain adanya provokasi terselubung yang sengaja disebarkan kelompok-kelompok tak bertanggungjawab masih ada pembenaran lain yang disematkan pada sang Gubernur sehingga membangkitkan solidaritas bodoh ditanah Papua dan seantero nusantara yang tak mau gubernurnya dititipkan dibalik jeruji besi. 

Sebagai sesama anak bangsa, penulis cukup terkesan dengan peristiwa ini. Ya  cukup terkesan ! Apa mau dikata. Bicara solidaritas,  patut diakui persaudaraan yang ditunjukkan memang tak sepadan dengan  yang dilakonkan kelompok manapun di bumi nusantara ini.

Tapi sebaliknya, apakah solidaritas yang ditunjukkan sudah mewakili diri kita sebagai warga negara yang menjunjung tinggi hukum dan perundang-undagan yang berlaku sebagaimana diamanatkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 ? Itu yang pertama.

Yang kedua, Lukas Enembe telah menunjukkan sikap non kooperatif dalam proses penyidikan KPK selama ini, beberapa kali dipanggil selalu mangkir dengan alasan sakit (sumber kutipan: Ketua Komisi KPK Firli Bahuri, Kompas.com 11/1/2023), ternyata beliau sehat-sehat saja,  terbukti saat penangkapan ia sedang asyik menyantap papeda dan kuah asam pada sebuah restoran  bersama keluarga, sopir dan ajudannya.

Ketiga, terkesan kelompok yang melakukan penghadangan upaya KPK termasuk melakukan penyerangan ke kantor Polisi ( Mako Brimob)  telah mencederai hukum yang berlaku di Indonesia bisa dikonotasikan dengan istilah pembangkang.  

Keempat, Lukas Enembe sama dengan saya, kami sama-sama warga negara Indonesia yang sama kedudukannya didalam hukum. Tidak bisa ditarik sebuah pandangan dalam pranata sosial kami, dia gubernur dan saya rakyat jelata. Negara saya dan negara Lukas sama yaitu Indonesia yang dalam penerapan hukumnya sama yaitu menganut asas equality before the law ( semua manusia setara dimata hukum). 

Dalam tulisan ini, keempat point diatas cukup untuk dijadikan permenungan untuk pembaca sekalian, apakah solidaritas yang kita tunjukkan harus sesuai dengan hukum dan perundang-undangan yang berlaku ataukah solidaritas bodoh terus kita tunjukkan demi meraih tujuan kelompok kita meski mengorbankan orang lain ?

Penulis : Simeon Sion / Humas Polres Kupang