Premanisme Berbaju Ormas: Ancaman Nyata bagi Demokrasi dan Investasi

Oleh: Mulyadi Adi
Kita hidup di negara yang mengaku menjunjung hukum, demokrasi, dan perlindungan terhadap masyarakat. Tapi setiap hari kita menyaksikan kenyataan yang berbanding terbalik: ormas-ormas tertentu bebas melakukan intimidasi, sweeping, pemaksaan, bahkan pengrusakan---semuanya atas nama moral, agama, atau keamanan lingkungan.
Yang lebih ironis, tindakan premanisme ini justru dibungkus dengan narasi "partisipasi masyarakat" atau "pengawasan sosial". Mereka berdalih menjaga lingkungan, tapi yang mereka lakukan justru menciptakan ketidakamanan. Mereka mengklaim membela warga, padahal yang ditekan justru warga kecil yang tak punya akses kuasa.
Tidak sedikit kasus di mana ormas memaksa proyek swasta untuk menyertakan "jatah tenaga kerja" dari kelompok mereka. Ada yang memblokir proyek karena tak diberi "uang keamanan", atau memaksa perusahaan menggunakan jasa logistik dari jaringan mereka. Semua dilakukan dengan intimidasi. Seolah-olah hukum tidak berlaku jika pelakunya membawa label ormas.
Masalah ini bukan hanya menyangkut keamanan sosial, tapi juga berdampak langsung pada perekonomian. Beberapa pengusaha mengaku memilih mundur dari proyek karena tekanan ormas terlalu tinggi. Investor asing menunda atau membatalkan rencana ekspansi karena tak yakin negara ini bisa menjamin kepastian hukum. Lingkungan bisnis tak lagi ditentukan oleh undang-undang, melainkan oleh siapa yang menguasai jalanan.
Yang lebih menyedihkan, semua ini tidak terjadi dalam ruang hampa. Banyak dari ormas-ormas ini punya kedekatan dengan politisi. Mereka dijadikan alat mobilisasi massa saat pemilu, diberikan akses kekuasaan sebagai imbalan suara, bahkan kadang dilibatkan dalam forum-forum resmi pemerintah. Bukan karena kompetensi, tapi karena kekuatan lapangan yang mereka miliki.
Kita sedang menyaksikan bagaimana demokrasi ditukar dengan kekuatan jalanan. Hukum jadi tumpul, aparat ragu bertindak, dan politisi lebih sibuk menjaga suara ketimbang menjaga konstitusi. Dalam situasi seperti ini, rakyat berada di posisi paling rentan: tidak dilindungi hukum, dan tidak bisa bersandar pada negara.
Jika negara sungguh ingin kembali ke jalurnya sebagai pelindung seluruh warga, maka langkah pertama adalah memutus mata rantai antara politisi dan ormas yang menggunakan kekerasan. Penegakan hukum harus berlaku untuk semua, tanpa kecuali. Ormas yang melanggar hukum harus ditindak sebagai pelanggar hukum, bukan sebagai mitra politik.
Demokrasi tidak bisa tumbuh di atas ancaman dan kekerasan. Dan investasi tidak akan datang ke tempat di mana hukum dikalahkan oleh massa. Premanisme berbaju ormas ini bukan sekadar gangguan, tapi ancaman nyata terhadap masa depan kita sebagai bangsa.
Konten ini telah tayang di Kompasiana.com dengan judul "Premanisme Berbaju Ormas: Ancaman Nyata bagi Demokrasi dan Investasi".