Agar Kekerasan Seksual Tidak Berulang

Agar Kekerasan Seksual Tidak Berulang

Oleh : NINUK MARDIANA PAMBUDY 

Editor : Simeon Sion (Humas Polres Kupang).

Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang lebih umum dikenal sebagai UU TPKS kembali menarik perhatian umum karena terjadi kasus hukum menyangkut Putri Candrawathi atau PC yang mengaku mengalami pelecehan seksual oleh Brigadir Nofriansyah Yosua Hutabarat atau Brigadir J. Undang-undang itu juga kembali mendapat perhatian karena ada kasus dugaan perkosaan terhadap pegawai di Kementerian Koperasi dan UKM yang diselesaikan aparat penegak hukum dengan mendorong korban serta terduga pelaku untuk menikah.

Kasus PC dan suaminya, bekas Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo atau FS, sedang disidangkan dengan dakwaan pembunuhan terhadap Brigadir J. Pernyataan PC bahwa dia mengalami pelecehan seksual dari Brigadir J menjadi penting. Pernyataan tersebut itu menjadi alasan FS menembak Brigadir J.

Percakapan di media sosial dan berita sejumlah media daring memuat pro dan kontra pernyataan PC. Umumnya mereka meragukan pengakuan adanya pelecehan seksual. Keraguan terutama disebabkan PC pernah menyampaikan informasi bohong bahwa pelecehan terjadi di kediaman PC dan FS di Jakarta.

Beberapa waktu kemudian pernyataan itu diubah, pelecehan terjadi di Magelang, Jawa Tengah. Polisi menghentikan kasus dugaan pelecehan di Jakarta karena tak ada bukti.

UU TPKS juga menarik perhatian dengan munculnya dugaan perkosaan terhadap perempuan pegawai di Kementerian Koperasi dan UKM (Kemenkop UKM) pada 2019. Pada akhir 2019, pegawai honorer, diduga diperkosa empat rekan kerjanya dalam kegiatan luar kota Kemenkop UKM.

Dari empat orang diduga pelaku, dua orang yang berstatus pegawai honorer diberhentikan pada 2020. Dua terduga pelaku lainnya yang merupakan pegawai masih bekerja di kementerian itu.

Pada gelar perkara dugaan perkosaan oleh pegawai Kemenkop UKM pada Senin (7/11/2022) di Polresta Bogor, pengurus Lembaga Bantuan Hukum APIK, Ratna Batara Munti, sebagai pendamping korban, menilai cara penegak hukum menangani kasus masih menyalahkan korban. Karena korban adalah perempuan dewasa, aparat menempatkan posis kasus ini sebagai hubungan saling suka.

Meski ketika dugaan perkosaan tersebut terjadi belum ada UU TPKS, saat itu terdapat sejumlah alat bukti. Dua alat bukti ialah visum dan tersangka sudah ditetapkan serta sempat ditahan. Alat bukti lain adalah keterangan saksi-saksi dan rekaman CCTV.

Kritik tajam ditujukan kepada aparat penegak hukum yang memberlakukan keadilan restoratif. Alih-alih membantu korban mendapat keadilan, ia didorong untuk menikah dengan pelaku.

Menguji UU TPKS

Di luar dua peristiwa itu, kekerasan seksual terus terjadi. Kekerasan seksual, terutama perkosaan pada anak perempuan, terjadi di berbagai daerah. Pelaku mulai dari ayah kandung, guru di sekolah, hingga teman yang dikenal melalui media sosial.

Jumlah kekerasan seksual yang tak diberitakan di media massa lebih banyak lagi. Tidak semua korban mau melapor dengan dengan berbagai alasan: takut karena diancam pelaku yang orang dekat korban, malu, hingga khawatir mendapat sanksi sosial dari lingkungan.

Anggota Jaringan Masyarakat Sipil Kawal UU TPKS, Olin Monteiro, pertengahan September 2022, mendampingi dua perempuan korban perkosaan. Salah satunya A, ibu dengan tiga anak, yang menderita luka parah sehingga harus mendapat jahitan dan perawatan di rumah sakit.

Selain itu, ada R yang diperkosa beberapa orang anggota keluarga sendiri dan teman. R tidak melaporkan kekerasan yang dialaminya karena mengalami depresi berat.

Daftar kekerasan seksual sangat panjang. Tak semua korban bersedia melaporkan kekerasan yang dialami. Alasan malu, menjaga nama baik keluarga, menyalahkan diri sendiri, takut disalahkan, merasa jijik dan kotor adalah beberapa perasaaan yang dirasakan korban.

Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriani menyebut, banyak temuan memperlihatkan, perempuan tak melawan saat kekerasan terjadi. Namun, situasi itu bukan berarti korban setuju dan tidak terjadi kekerasan seksual.

Situasi di atas menyebabkan perempuan korban saat dalam pemeriksaan oleh aparat penegak hukum dianggap melakukan perbuatan suka sama suka, apalagi jika korban adalah perempuan dewasa. UUTPKS mengatur kekerasan seksual fisik termasuk “perbuatan melanggar kesusilaan yang bertentangan dengan kehendak korban” (pasal 4 ayat 2d).

Peraturan pelaksana

Untuk dapat digunakan, UU TPKS memerlukan sejumlah peraturan pelaksaan berbentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden. Beberapa pasal, terutama yang menyangkut definisi kekerasan seksual fisik dan nonfisik, kekerasan yang merupakan delik aduan atau bukan, serta sanksi pidana bagi pelaku sudah diatur jelas.

Meski demikian, terdapat sejumlah pasal yang memerlukan peraturan pemerintah dan peraturan presiden agar dapat diimplementasikan. Hal ini penting diwujudkan terutama karena semangat UU TPKS ialah menangani, melindungi, dan memulihkan korban; melakukan penegakan hukum dan merehabilitasi pelaku; mewujudkan lingkungan tanpa kekerasan seksual, serta memastikan kekerasan tak berlanjut dan berulang, selain mencegah segala bentuk kekerasan.

Upaya menangani, melindungi, dan memulihkan korban memerlukan pendampingan terhadap mereka agar tak kembali menjadi korban kekerasan serta mendapatkan rasa aman dan perlindungan. Konsultan pada Women Crisis Center Dian Mutiara di Malang, Ina Irawati, mendampingi dua kasus kekerasan seksual dan sudah dilaporkan ke polisi. Untuk memulihkan hak-hak korban, menurut Ina, diperlukan peraturan pemerintah yang mengatur sumber pemanfaatan dana bantuan bagi korban seperti diatur dalam pasal 35 ayat4.

Diperlukan pula peraturan pemerintah tentang tata cara penanganan perlindungan dan pemulihan (pasal 66 ayat 3), penyelenggaraan pencegahan kekerasan seksual, terutama di komunitas (pasal 80). Peraturan presiden juga dibutuhkan untuk pembentukan tim terpadu untuk penyediaan layanan sosial bagi pemulihan korban kekerasan.

UU TPKS, sebagai landasan hukum mencegah kekerasan seksual dan perlindungan bagi korban, hanya dapat dilaksanakan apabila peraturan turunan untuk melaksanakannya segera terbit. Sebagai pendamping kroban di lapangan, Ina Irawati berharap segera hadir tahun ini perpres unit pelaksana teknis daerah, perpres pendidikan dan pelatihan untuk aparat penegak hukum, layanan pemerintah, serta layanan berbasis masyarakat.

Sumber : https://www.kompas.id/baca/opini/2022/11/11/agar-kekerasan-seksual-tidak-berulang?status=sukses_login&status_login=login